Selasa, 28 Januari 2014


” Berkenaan dengan tema “Subsidi BBM untuk Siapa: Apa Kata Undang-undang dan Apa Katamu?” yang terkandung dalam pesan (artikel) berjudul “Apa yang Salah Dalam Subsidi BBM" di www. darwinsaleh.com. Saya berpandangan bahwa pertama, kita harus melihat fakta mengenasi subsidi BBM. Apa alasan pemerintah berencana mencabut subsidi BBM? Benarkah alasan-alasan yang dikemukakan pemerintah berkenanan dengan pencabutan subsidi BBM? Dari sini kita bisa menarik benang merah, benarkah keputusan pemerintah terkait pencabutan subsidi BBM? adakah alternatif lain yang bisa dilakukan selain mencabut subsidi BBM? Mengingat jika subsidi BBM dicabut, otomatis harga BBM naik. Harga BBM naik, maka harga barang-barang lain juga naik. Tentu ini akan membebani rakyat.
@HanaUmmuDzakiy

Pencabutan subsidi BBM memang bukan tanpa alasan dan pertimbangan. Bahkan Presiden menyatakan komitmen resmi: kenaikan harga BBM adalah pilihan terakhir. Pemerintah beralasan kenaikan harga BBM yang berarti mencabut ‘subsidi’ ini harus dilakukan mengingat subsidi terus bertambah sehingga membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Beban ini, menurut pemerintah, akan memberatkan APBN dan bisa membuat APBN jebol. Tidak cukup itu, pemerintah menyatakan subsidi selama ini tidak tepat sasaran. Subsidi, menurut pemerintah, seharusnya diarahkan kepada kalangan bawah. Namun pemerintah menilai subsidi selama ini justru dinikmati oleh orang kaya yakni yang memiliki kendaraan bermotor.

Benarkah subsidi BBM selama ini membebani APBN? Subsidi BBM sejatinya tidak membebani APBN. Selama ini yang membebani APBN  adalah pembayaran utang dan bunganya. Sebagai contoh APBN 2011 kemarin, pemerintah harus membayar angsuran pokok dan bunga utang sebesar Rp 267,509 triliun. Jelas terlihat APBN habis terkuras. Beban selanjutnya  adalah fasilitas untuk pejabat. Benarkah subsidi BBM selama ini hanya dinikmati oleh orang kaya? Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi Nasional Tahun 2012 menunjukkan bahwa pengguna BBM sebesar 65 persen adalah rakyat kelas bawah dan miskin, 27 persen rakyat kelas menengah, 6 persen rakyat menengah ke atas dan hanya 2 persen orang kaya. Selain itu, dari total jumlah kendaraan di Indonesia yang mencapai 53,4 juta pada tahun 2010, sebanyak 82 persen diantaranya merupakan kendaraan roda dua yang kebanyakan dimiliki oleh rakyat kelas menengah bawah. Data tersebut menunjukkan pengguna BBM lebih banyak orang miskin.

 Tidak ada yang salah ketika pemerintah mensubsidi BBM. Berapapun besar subsidi BBM itu. Bahkan sebisa mungkin BBM digratiskan. Rasulullah bersabda: kaum muslimin berserikat dalam 3 hal: air, padang rumput, dan api (minyak bumi). Artinya Negara wajib mengelola sumber daya alam dan energi untuk kesejahteraan rakyat. Tidak seperti sekarang ini, justru rakyat diperas untuk membeli BBM. BBM adalah milik rakyat,, seharusnya dikembalikan pada rakyat, bukan dijual pada asing atau dijual pada rakyat.

Maka subsidi BBM hendakya tidak dicabut. Lantas apa yang harus dilakukan pemerintah? Jika pencabutan subsidi BBM alasannya adalah membengkaknya APBN maka ada baiknya kita membenahi APBN. Sudah benarkah APBN kita? Sudah tepatkah? Apakah APBN selama ini sudah bisa memenuhi kebutuhan rakyat? Jangan-jangan selama ini yang salah bukan subsidi BBMnya tapi salah di APBNnya.

Akhir-akhir ini sedang naik daun tema 'demam syariah'. Demam syariah telah melanda dunia. Bank syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, bakso syariah, pariwisata syariah, bahkan MLM Syariah. Demam ini bukan hanya menimpa Indonesia, yang mayoritas memang muslim. Tetapi, juga menerpa Inggris, Singapura, Jepang dan Korea. Mereka tanpa malu mengadopsi ekonomi syariah. Saya coba-coba iseng berpikir begini: Bagaimana jika wajah APBN Indonesia dibuat dengan paradigma syariah?

Sebelum menuju wajah APBN syariah ada baiknya kilas balik ke APBN konvensional. Menurut Umar Fadhilah MM dalam sebuah artikelnya di Tribun Jabar (19/06/2011) APBN dari suatu negara yang menganut paham ekonomi kapitalisme (konvensional) akan memiliki konsep penyusunan yang khas, menggunakan kaidah-kaidah tertentu yang telah digariskan. Konsep itu dapat diketahui dengan melihat dua unsur utama penyusunnya, yaitu dari mana sumber utama penerimaannya dan untuk apa pengeluarannya (belanjanya). Selain itu, pemerintah dalam menyusun APBN-nya juga harus mendapat persetujuan dari DPR, untuk selanjutnya akan ditetapkan sebagai anggaran belanja selama satu tahun, yang biasa dikenal sebagai tahun fiskal.

Menurut paham ekonomi kapitalisme, sumber utama pendapatan negara hanyalah berasal dari pajak yang dipungut dari rakyatnya. Pengeluaran (belanja) utamanya hanyalah untuk membiayai kebutuhannya sendiri, seperti administrasi negara, operasi departemen pemerintah, dan pertahanan keamanan. Di samping itu, belanjanya juga akan digunakan untuk membiayai berbagai kepentingan pembangunan fasilitas umum, seperti membangun jalan, jembatan, waduk, sekolah, dan rumah sakit. Dalam menyusun APBN-nya, pemerintah harus selalu merujuk pada prinsip anggaran berimbang. Artinya, belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah harus seimbang  dengan penerimaan dari pajak yang berasal dari rakyatnya.

Jika pemerintah harus mengeluarkan belanja yang besarnya melebihi sumber penerimaannya, inilah yang akan disebut sebagai anggaran defisit atau biasa dikenal dengan sebutan defisit fiskal. Jika anggaran pemerintah mengalami defisit, biasanya akan ditutup dengan salah satu dari empat cara: (1) Penjualan obligasi (surat utang negara). (2) Pinjaman dari bank sentral dengan cara mencetak uang baru. (3) Pinjaman di pasar uang atau modal di dalam negeri atau luar negeri. (4) Pinjaman atau bantuan resmi dari pemerintah negara-negara donor.

Jika APBN memiliki beban utang, siapa yang berkewajiban untuk membayar angsuran utang pokoknya ditambah dengan bunganya? Jawabnya tidak lain adalah rakyat. Melalui apa? Melalui beban pajak yang akan senantiasa dinaikkan besarannya atau dengan memperbanyak jenis-jenis pajaknya.

Inilah buah simalakama dari sistem APBN konvensional. Jika negara menetapkan anggaran defisit untuk menyelamatkan ekonomi rakyatnya, dalam jangka panjang justru akan membebani rakyatnya. Namun, jika pemerintah tidak mau memberi bantuan kepada rakyatnya, tentu ekonomi rakyat akan semakin terpuruk.
Bagaimana dengan konsep penyusunan APBN syariah? Tentu berbeda prinsip dasar dan kaidah-kaidah  dengan APBN  konvensional. Perbedaan  yang paling mendasar adalah menyangkut sumber-sumber utama pendapatannya maupun alokasi pembelanjaannya. Sumber-sumber penerimaaan APBN Syariah, disebut Kas Baitul Mal, sama sekali tidak mengandalkan dari sektor pajak. Bahkan negara sedapat mungkin tidak memungut pajak dari rakyatnya.

Sumber-sumber utama penerimaan Kas Baitul Mal seluruhnya telah digariskan oleh syariah Islam.  Dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah  Abdul Qadim Zallum menyatakan bahwa pos pendapatan negara terdiri dari tiga bagian:(1)   Bagian Fai dan Kharaj.  Penerimaan ini meliputi: Ghanimah, yakni pampasan perang. Kharaj, yakni pajak bumi yang dahulu dibebaskan kaum muslimin dengan jihad.  Besaran kharaj ini ditetapkan khalifah berdasarkan potensi hasil bumi tersebut. Sewa tanah-tanah milik negara. Jizyah, yakni pajak dari warga non muslim yang dewasa dan berada, karena mereka tak terkena kewajiban zakat, jihad maupun pajak bila ada. Fai, yakni pemasukan dari barang temuan, waris yang tak ada pewarisnya, harta sitaan dsb. Pajak yang hanya ditarik insidental dari warga muslim yang berada.  Tanah milik negara bila perlu dapat dibagikan ke warga yang kekurangan, tanpa sewa.  Jizyah akan hilang ketika warga non muslim masuk Islam, dan itu tidak boleh dihalang-halangi.  Barang temuan atau waris justru harus dicarikan siapa yang berhak.  Dan pajak hanya ditarik insidental kalau kas baitul maal terancam kosong padahal ada kebutuhan yang bersifat pasti. (2) Bagian Kepemilikan Umum yaitu pengelolaan sumber daya alam yang hakekatnya milik umum: Seksi minyak dan gas, Seksi listrik, Seksi pertambangan, Seksi laut, sungai, perairan dan mata air, Seksi hutan dan padang rumput, Seksi asset produktif yang dikuasai negara, misalnya yang berasal dari wakaf. Kepemilikan umum harus dikembalikan kepada rakyat, baik berupa harta yang dibagikan langsung maupun berupa pelayanan negara yang dibiayai dari penjualannya baik di dalam negeri maupun ekspor. (3) Bagian Shadaqah, yang terdiri dari shadaqah wajib yaitu: Zakat harta dan perdagangan yang berupa uang (atau emas/perak), Zakat pertanian dan buah-buahan, Zakat ternak. Bagian Shadaqah adalah bagian yang unik. Pertama karena volumenya penerimaannya menggambarkan tingkat kemakmuran masyarakat, sehingga kalau ekonomi lesu maka shadaqah juga berkurang. Kedua, pengeluarannya hanya ke delapan ashnaf.

Dari ketiga bagian ini, harta yang paling dapat diandalkan untuk APBN adalah kepemilikan umum, sehingga pada pos inilah dilakukan beberapa perhitungan dengan sejumlah asumsi, yang antara lain tergantung pada harga minyak dunia dan nilai tukar mata uang dunia.

Jika sumber utama penerimaan negara sudah jelas,  pertanyaan berikutnya adalah bagaimana  ketentuan pembelanjaannya? Dalam kitab Nizhamul Iqtishady fil Islam dari Imam Taqiyyudin an-Nabhani, dinyatakan bahwa pengeluaran Kas Negara ditetapkan berdasarkan enam kaidah:(1) Harta yang menjadi kas tersendiri Baitul Maal, yaitu harta zakat.  Harta ini hanya dibelanjakan ke delapan ashnaf kalau memang kasnya terisi.  Bila di Baitul Maal harta zakat sudah habis, maka tidak ada seorangpun dari delapan ashnaf itu yang berhak mendapatkannya lagi, dan tidak akan dicarikan pinjaman untuk itu. (2)  Pembelanjaan yang sifatnya wajib, yaitu manakala terjadi kekurangan.  Ini bersifat pasti, bila tidak ada dan dikhawatirkan akan terjadi kerusakan maka negara dapat meminjam harta dan setelah itu dilunasi dan bila perlu dapat menarik pajak. (3)   Pembelanjaan yang sifatnya kompensasi yakni bagi orang-orang yang telah memberikan jasa, misalnya gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, guru dan sebagainya.  Ini juga bersifat pasti. (4)   Pembelanjaan karena unsur keterpaksaan, semisal ada bencana alam atau serangan musuh.  Ini juga bersifat pasti. (5)   Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan, bukan untuk kompensasi, namun sifatnya vital, karena bila tidak ada, umat akan mengalami kesulitan, seperti pembangunan infrastruktur.  Ini juga bersifat pasti. (6)   Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan hanya saja bila tidak ada umat tidak sampai menderita, misalnya pembangunan fasilitas hiburan, atau adanya fasilitas umum sekunder ketika fasilitas yang lama masih memadai.

APBN syariah memang unprofitable bagi para kapitalis. Tapi, inilah bentuk tanggung jawab negara dan kita terhadap sesama manusia. Tanggung jawab yang lahir dari kerinduan akan ketundukan manusia terhadap  aturanTuhannya. Mau?

 “Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari www.darwinsaleh.com. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan”. 





1 komentar:

  1. tulisannya cukup bagus, tapi kalau solusi jangka pendeknya bagaiman? sementara menunggu negara yg seperti mbak hana idamkan.

    BalasHapus