”
Berkenaan dengan tema “Subsidi BBM untuk Siapa: Apa Kata Undang-undang dan Apa
Katamu?” yang terkandung dalam pesan (artikel) berjudul “Apa yang Salah Dalam
Subsidi BBM" di www. darwinsaleh.com. Saya berpandangan bahwa pertama, kita
harus melihat fakta mengenasi subsidi BBM. Apa alasan pemerintah berencana
mencabut subsidi BBM? Benarkah alasan-alasan yang dikemukakan pemerintah
berkenanan dengan pencabutan subsidi BBM? Dari sini kita bisa menarik benang
merah, benarkah keputusan pemerintah terkait pencabutan subsidi BBM? adakah
alternatif lain yang bisa dilakukan selain mencabut subsidi BBM? Mengingat
jika subsidi BBM dicabut, otomatis harga BBM naik. Harga BBM naik, maka harga
barang-barang lain juga naik. Tentu ini akan membebani rakyat.
@HanaUmmuDzakiy
Pencabutan
subsidi BBM memang bukan tanpa alasan dan pertimbangan. Bahkan Presiden
menyatakan komitmen resmi: kenaikan harga BBM adalah pilihan terakhir. Pemerintah
beralasan kenaikan harga BBM yang berarti mencabut ‘subsidi’ ini harus
dilakukan mengingat subsidi terus bertambah sehingga membebani Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Beban ini, menurut pemerintah, akan
memberatkan APBN dan bisa membuat APBN jebol. Tidak cukup itu, pemerintah
menyatakan subsidi selama ini tidak tepat sasaran. Subsidi, menurut pemerintah,
seharusnya diarahkan kepada kalangan bawah. Namun pemerintah menilai subsidi
selama ini justru dinikmati oleh orang kaya yakni yang memiliki kendaraan
bermotor.
Benarkah
subsidi BBM selama ini membebani APBN? Subsidi BBM sejatinya tidak membebani
APBN. Selama ini yang membebani APBN adalah pembayaran utang dan bunganya. Sebagai
contoh APBN 2011 kemarin, pemerintah harus membayar angsuran pokok dan
bunga utang sebesar Rp 267,509 triliun. Jelas terlihat APBN habis terkuras. Beban selanjutnya adalah fasilitas untuk pejabat. Benarkah subsidi BBM selama ini hanya dinikmati oleh orang kaya? Berdasarkan
hasil Sensus Ekonomi Nasional Tahun 2012 menunjukkan bahwa pengguna BBM sebesar
65 persen adalah rakyat kelas bawah dan miskin, 27 persen rakyat kelas
menengah, 6 persen rakyat menengah ke atas dan hanya 2 persen orang kaya.
Selain itu, dari total jumlah kendaraan di Indonesia yang mencapai 53,4 juta
pada tahun 2010, sebanyak 82 persen diantaranya merupakan kendaraan roda dua
yang kebanyakan dimiliki oleh rakyat kelas menengah bawah. Data tersebut
menunjukkan pengguna BBM lebih banyak orang miskin.
Tidak ada yang salah ketika pemerintah
mensubsidi BBM. Berapapun besar subsidi BBM itu. Bahkan sebisa mungkin BBM
digratiskan. Rasulullah bersabda: kaum muslimin berserikat dalam 3 hal: air,
padang rumput, dan api (minyak bumi). Artinya Negara wajib mengelola sumber daya
alam dan energi untuk kesejahteraan rakyat. Tidak seperti sekarang ini, justru
rakyat diperas untuk membeli BBM. BBM adalah milik rakyat,, seharusnya dikembalikan pada
rakyat, bukan dijual pada asing atau dijual pada rakyat.
Maka
subsidi BBM hendakya tidak dicabut. Lantas apa yang harus dilakukan pemerintah?
Jika pencabutan subsidi BBM alasannya adalah membengkaknya APBN maka ada
baiknya kita membenahi APBN. Sudah benarkah APBN kita? Sudah tepatkah? Apakah
APBN selama ini sudah bisa memenuhi kebutuhan rakyat? Jangan-jangan selama ini
yang salah bukan subsidi BBMnya tapi salah di APBNnya.
Akhir-akhir
ini sedang naik daun tema 'demam syariah'. Demam syariah telah melanda dunia. Bank syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, bakso syariah, pariwisata
syariah, bahkan MLM Syariah. Demam ini bukan hanya menimpa Indonesia, yang
mayoritas memang muslim. Tetapi, juga menerpa Inggris, Singapura, Jepang dan
Korea. Mereka tanpa malu mengadopsi ekonomi syariah. Saya coba-coba iseng
berpikir begini: Bagaimana jika wajah APBN Indonesia dibuat dengan
paradigma syariah?
Sebelum
menuju wajah APBN syariah ada baiknya kilas balik ke APBN konvensional. Menurut
Umar Fadhilah MM dalam sebuah artikelnya di Tribun Jabar (19/06/2011) APBN
dari suatu negara yang menganut paham ekonomi kapitalisme (konvensional) akan
memiliki konsep penyusunan yang khas, menggunakan kaidah-kaidah tertentu yang
telah digariskan. Konsep itu dapat diketahui dengan melihat dua unsur utama
penyusunnya, yaitu dari mana sumber utama penerimaannya dan untuk apa
pengeluarannya (belanjanya). Selain itu, pemerintah dalam menyusun APBN-nya
juga harus mendapat persetujuan dari DPR, untuk selanjutnya akan ditetapkan
sebagai anggaran belanja selama satu tahun, yang biasa dikenal sebagai tahun
fiskal.
Menurut
paham ekonomi kapitalisme, sumber utama pendapatan negara hanyalah berasal dari
pajak yang dipungut dari rakyatnya. Pengeluaran (belanja) utamanya hanyalah
untuk membiayai kebutuhannya sendiri, seperti administrasi negara, operasi
departemen pemerintah, dan pertahanan keamanan. Di samping itu, belanjanya juga
akan digunakan untuk membiayai berbagai kepentingan pembangunan fasilitas umum,
seperti membangun jalan, jembatan, waduk, sekolah, dan rumah sakit. Dalam
menyusun APBN-nya, pemerintah harus selalu merujuk pada prinsip anggaran
berimbang. Artinya, belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah harus seimbang dengan penerimaan dari pajak yang berasal dari rakyatnya.
Jika
pemerintah harus mengeluarkan belanja yang besarnya melebihi sumber
penerimaannya, inilah yang akan disebut sebagai anggaran defisit atau biasa
dikenal dengan sebutan defisit fiskal. Jika anggaran pemerintah mengalami
defisit, biasanya akan ditutup dengan salah satu dari empat cara: (1) Penjualan
obligasi (surat utang negara). (2) Pinjaman dari bank sentral dengan cara
mencetak uang baru. (3) Pinjaman di pasar uang atau modal di dalam negeri atau
luar negeri. (4) Pinjaman atau bantuan resmi dari pemerintah negara-negara
donor.
Jika
APBN memiliki beban utang, siapa yang berkewajiban untuk membayar angsuran
utang pokoknya ditambah dengan bunganya? Jawabnya tidak lain adalah rakyat. Melalui
apa? Melalui beban pajak yang akan senantiasa dinaikkan besarannya atau dengan
memperbanyak jenis-jenis pajaknya.
Inilah
buah simalakama dari sistem APBN konvensional. Jika negara menetapkan anggaran
defisit untuk menyelamatkan ekonomi rakyatnya, dalam jangka panjang justru akan
membebani rakyatnya. Namun, jika pemerintah tidak mau memberi bantuan kepada
rakyatnya, tentu ekonomi rakyat akan semakin terpuruk.
Bagaimana
dengan konsep penyusunan APBN syariah? Tentu berbeda prinsip dasar dan kaidah-kaidah dengan APBN konvensional. Perbedaan yang paling mendasar adalah menyangkut
sumber-sumber utama pendapatannya maupun alokasi pembelanjaannya. Sumber-sumber
penerimaaan APBN Syariah, disebut Kas Baitul Mal, sama sekali tidak
mengandalkan dari sektor pajak. Bahkan negara sedapat mungkin tidak memungut
pajak dari rakyatnya.
Sumber-sumber
utama penerimaan Kas Baitul Mal seluruhnya telah digariskan oleh syariah Islam.
Dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah Abdul Qadim
Zallum menyatakan bahwa pos pendapatan negara terdiri dari tiga bagian:(1)
Bagian Fai dan Kharaj. Penerimaan ini meliputi: Ghanimah, yakni pampasan
perang. Kharaj, yakni pajak bumi yang dahulu dibebaskan kaum muslimin dengan
jihad. Besaran kharaj ini ditetapkan khalifah berdasarkan potensi hasil
bumi tersebut. Sewa tanah-tanah milik negara. Jizyah, yakni pajak dari warga
non muslim yang dewasa dan berada, karena mereka tak terkena kewajiban zakat,
jihad maupun pajak bila ada. Fai, yakni pemasukan dari barang temuan, waris
yang tak ada pewarisnya, harta sitaan dsb. Pajak yang hanya ditarik insidental
dari warga muslim yang berada. Tanah milik negara bila perlu dapat
dibagikan ke warga yang kekurangan, tanpa sewa. Jizyah akan hilang ketika
warga non muslim masuk Islam, dan itu tidak boleh dihalang-halangi.
Barang temuan atau waris justru harus dicarikan siapa yang berhak. Dan
pajak hanya ditarik insidental kalau kas baitul maal terancam kosong padahal
ada kebutuhan yang bersifat pasti. (2) Bagian Kepemilikan Umum yaitu
pengelolaan sumber daya alam yang hakekatnya milik umum: Seksi minyak dan gas, Seksi
listrik, Seksi pertambangan, Seksi laut, sungai, perairan dan mata air, Seksi
hutan dan padang rumput, Seksi asset produktif yang dikuasai negara, misalnya
yang berasal dari wakaf. Kepemilikan umum harus dikembalikan kepada rakyat,
baik berupa harta yang dibagikan langsung maupun berupa pelayanan negara yang
dibiayai dari penjualannya baik di dalam negeri maupun ekspor. (3) Bagian
Shadaqah, yang terdiri dari shadaqah wajib yaitu: Zakat harta dan perdagangan
yang berupa uang (atau emas/perak), Zakat pertanian dan buah-buahan, Zakat
ternak. Bagian Shadaqah adalah bagian yang unik. Pertama karena volumenya
penerimaannya menggambarkan tingkat kemakmuran masyarakat, sehingga kalau
ekonomi lesu maka shadaqah juga berkurang. Kedua, pengeluarannya hanya ke
delapan ashnaf.
Dari
ketiga bagian ini, harta yang paling dapat diandalkan untuk APBN adalah
kepemilikan umum, sehingga pada pos inilah dilakukan beberapa perhitungan
dengan sejumlah asumsi, yang antara lain tergantung pada harga minyak dunia dan
nilai tukar mata uang dunia.
Jika
sumber utama penerimaan negara sudah jelas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana ketentuan pembelanjaannya? Dalam kitab Nizhamul
Iqtishady fil Islam dari Imam Taqiyyudin an-Nabhani, dinyatakan bahwa
pengeluaran Kas Negara ditetapkan berdasarkan enam kaidah:(1) Harta yang
menjadi kas tersendiri Baitul Maal, yaitu harta zakat. Harta ini hanya
dibelanjakan ke delapan ashnaf kalau memang kasnya terisi. Bila di Baitul
Maal harta zakat sudah habis, maka tidak ada seorangpun dari delapan ashnaf itu
yang berhak mendapatkannya lagi, dan tidak akan dicarikan pinjaman untuk itu.
(2) Pembelanjaan yang sifatnya wajib, yaitu manakala terjadi
kekurangan. Ini bersifat pasti, bila tidak ada dan dikhawatirkan akan
terjadi kerusakan maka negara dapat meminjam harta dan setelah itu dilunasi dan
bila perlu dapat menarik pajak. (3) Pembelanjaan yang sifatnya
kompensasi yakni bagi orang-orang yang telah memberikan jasa, misalnya gaji
para tentara, pegawai negeri, hakim, guru dan sebagainya. Ini juga
bersifat pasti. (4) Pembelanjaan karena unsur keterpaksaan, semisal
ada bencana alam atau serangan musuh. Ini juga bersifat pasti. (5)
Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan, bukan untuk kompensasi, namun sifatnya
vital, karena bila tidak ada, umat akan mengalami kesulitan, seperti
pembangunan infrastruktur. Ini juga bersifat pasti. (6)
Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan hanya saja bila tidak ada umat tidak
sampai menderita, misalnya pembangunan fasilitas hiburan, atau adanya fasilitas
umum sekunder ketika fasilitas yang lama masih memadai.
APBN
syariah memang unprofitable bagi para kapitalis. Tapi, inilah bentuk
tanggung jawab negara dan kita terhadap sesama manusia. Tanggung jawab yang
lahir dari kerinduan akan ketundukan manusia terhadap aturanTuhannya. Mau?
“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog
dari www.darwinsaleh.com.
Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan”.
tulisannya cukup bagus, tapi kalau solusi jangka pendeknya bagaiman? sementara menunggu negara yg seperti mbak hana idamkan.
BalasHapus