Kamis, 01 Agustus 2013


Kalimat itu pernah saya lafazhkan di hadapan ustadz saya. Alasan saya saat itu simpel, saya merasa sangat terbebani dengan berbagai kewajiban menghadiri banyak pertemuan dakwah, di saat yang sama saya harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Saya mengajar di tiga sekolah. Dinas di SMP Negeri, Honorer di SMA Negeri, dan mengabdi di Pondok Pesantren. Khusus untuk yang terakhir, fokus saya adalah mengabdikan ilmu semata, karena kecintaan saya yang besar pada pondok.

Saya pikir, itu alasan yang tepat. Dengan banyaknya beban menghadiri pertemuan-pertemuan dakwah, tentu saya akan kehabisan waktu untuk bekerja. Maka keputusan yang bijak saat itu adalah, saya mundur sementara dari dakwah.

Saat itu di Masjid Nurul Kahruba Banjarbaru. Ba'da shalat zhuhur berjamaah. Hanya tersisa saya dan ustadz tersebut. O iya, ketika saya sebut kata ustadz, antum tidak perlu membayangkan bahwa beliau adalah orang yang lebih senior atau lebih sepuh dari saya. Kami teman satu angkatan di kampus, usia kami pun beriringan. Dia adalah suami dari sepupunya isteri saya, jauh sekali ya? Sepertinya saya lebih pantas memanggilnya akhi. Tapi tidak, Dia jauh lebih berilmu dari saya. Dia jauh lebih banyak beramal daripada saya. Dia jauh lebih banyak berkorban daripada saya. Maka, sepantasnyalah saya menyebutnya sebagai ustadz saya.

Beliau, dengan sabar mendengarkan semua keluh kesah saya. Isteri saya yang menunggu di shuffah masjid, sampai bosan. Namun Ustadz ini masih mendengarkan curahan hati saya dengan sabar. Sampai tiba giliran beliau untuk bicara.

"Ustadz Abay. Itu semua terserah antum. Hanya saja, yang perlu diingat adalah, bisa jadi kesulitan hidup yang antum hadapi adalah karena antum meninggalkan dakwah. Ana tau antum masih berdakwah secara individual di tempat kerja antum. Tapi, antum tidak bisa memungkiri bahwa dakwah ini menghajatkan jamaah. Ana tidak perlu menjelaskan detil istinbath hukumnya. Ana yakin antum sudah memahami itu. Yang mungkin antum lupa adalah, ketika antum meninggalkan dakwah berjamaah, itu adalah sebuah kemaksiatan. Bagaimana mungkin Allah memberkahi pekerjaan antum, manakala antum melakukan kemaksiatan (meninggalkan dakwah jama'iy)."

Saya terpaku memandang jenggot tipisnya.
"Ustadz Abay, Ana khawatir, jika antum meninggalkan dakwah, kesulitan hidup antum akan semakin melilit."

Saya tertunduk.
"Ustadz Abay, kalau antum mau tau, ustadz Y, saat ini punya hutang besar, empat puluhan juta. Mungkin itu kecil bagi pengusaha. Namun bagi beliau, itu jumlah yang sangat besar. Begitu sulit beliau menghadapi orang yang selalu menagih-nagih hutang, bagaimana beliau selalu dipusingkan oleh rutinitas gali lobang-tutup lobang. Tapi satu hal ustadz, beliau tidak memilih keluar dari jama'ah untuk fokus bekerja. Beliau tetap bersama jama'ah. Silakan Antum pikirkan lagi keputusan antum."

YA, PILIHAN BODOH JIKA KITA MENINGGALKAN JAMA'AH DAKWAH INI HANYA KARENA KESULITAN HIDUP. INGAT, BETAPA SULITNYA KEHIDUPAN RASUL DAN PARA SAHABATNYA KETIKA DIBOIKOT SELAMA TIGA TAHUN. SAMPAI-SAMPAI MEREKA HARUS MEMAKAN KERUPUK YANG DIBUAT DARI KULIT KAMBING KERING, BEKAS TERKENA KENCING SA'AD BIN ABI WAQQASH. JUSTERU KESULITAN HIDUP ITU MEMBUAT MEREKA SEMAKIN YAKIN BAHWA ALLAH AKAN SEGERA MEMENANGKAN MEREKA

Saya semakin tertampar.
Saya lihat, di luar masjid, isteri saya semakin gelisah menunggu. Sebab kami memang ada janji untuk pergi ke tempat lain. Sebenarnya saya ingin berlama-lama mendengarkan muhasabah dari ustadz saya tersebut. Tapi saya juga tidak ingin membuat isteri saya menunggu lebih lama.

"Ustadz, jazakaLlah muhasabahnya. Afwan ana permisi dulu, ada janji pergi sama isteri."

Usai bersalaman, saya bergegas menghampiri isteri saya. Kami berjalan menuju tempat parkir, lalu melaju menuju tempat yang kami tuju. Kali ini tidak seperti biasa. Saya tidak bisa bercanda dengan isteri di sepanjang perjalanan. Saya hanya bisa menatap kosong ke depan, dan menangis.

"Waman a'radha 'an dzikriy, fa-inna lahuu ma'iisyatan dhankaa..."
-Barang siapa yang berpaling dari mengingat-Ku, baginya penghidupan yang sempit-

"Wa nahsyuruhu yaumal qiyaamati a'maa..."
-dan Kami kumpulksn ia di hari kiamat, dalam keadaan buta-

Rabb, matikan aku sebagai muslim. Sebagai Muslim yang ikhlas berjuang di jalanMu. Sebagai Muslim yang berjuang bersama jama'ah yang Engkau ridhai. Kokohkan kakiku. Teguhkan pundakku. Kuatkan hatiku. Aamiin.


(Thahaa 124)

0 komentar:

Posting Komentar